Semakin diri ini menginjak dewasa, semakin tersadar bahwa aku mencintaimu. Bandel dan nakalnya aku, tak lantas menjadikan kasih sayang dan cintamu terhenti begitu saja. Engkau kuat meski sakit, engkau tabah meski sebah. Sungguh, karunia luar biasa ketika aku masih memilikimu. Biarkan aku mengganti kenakalanku, karena aku tau aku pun tak mampu membalas seluruh kebaikanmu, Ibu.
Mungkin belum banyak yang bisa aku berikan
untuk membuatmu tersenyum bangga, ibaratnya hanya bisa mampu mengembangkan
senyum tipis di bibirmu. Baru itu, Ibu. Bahkan suatu ketika senyum itu luntur
begitu saja, yaa karena apa lagi kalau bukan karena kebandelanku. Kebandelan seorang
anak yang mengakunya sayang kepada Ibunya, tapi kadang masih melakukan hal-hal
yang membuat raut muka sosok wanita yang dimuliakan itu tak sesejuk biasanya. Maaf,
Bu..
Aku pun tak tahu mengapa, apakah ini sudah
fitrah seorang anak, ataukah memang aku yang belum pandai mengendalikan diri. Kadang
aku iri dengan mereka-mereka yang mampu memasang lama raut muka manis dengan
senyumannya itu kepada orang tuanya, terutama Ibunya. Dengan mudah melemparkan
kata sayang dengan imbuhan sebuah kecupan. Maafkan aku, Ibu..
Aku belum menjadi anak baik. Namun paling
tidak, aku memohon agar Allah menjagaku untuk selalu membawamu dalam setiap do’a-do’aku.
Karena mungkin baru itu tanda baktiku kepadamu, Bu, yang sekiranya masih mampu
aku lakukan sebagai rutinitas. Maafkan aku, Ibu..
Semoga Allah selalu melindungimu dimana pun
Ibu berada, senantiasa dimudahkan dan ditujukkan kepada jalanNya, dan diberi
kesabaran dalam mendidik anak-anaknya.
Salam sayangku yang belum bisa terucap,
Episode hari Ibu yang tertinggal.
25 Desember 2014